Indonesia Butuh Relawan Kemanusiaan


Siang itu di tahun 2019 disela jam istirahat, saya memperoleh kabar bahwa terdapat salah seorang penerima manfaat penderita talasemia di ruang tamu. Biasanya penerima manfaat akan ditangani oleh tim program yang melakukan assessment kepada penerima manfaat, namun saat itu kantor masih sepi, ada pula beberapa amilin yang bertugas ke lapangan, atau pulang untuk istirahat sejenak di rumah amil yang lokasinya tidak jauh dari kantor. Oleh karena itu, Saya pun turun ke bawah untuk menemui penerima manfaat tersebut. Jujur saja, itu kali pertama saya mendengar dan akhirnya mengetahui bagaimana mengerikannya penyakit talasemia itu.

“Assalamualaikum. Siang, Bu”

“Waalaikumsalam” jawab si ibu lirih

“Sini, Bu. Kita duduk di sini aja” Saya pun mengajaknya ke ruang tamu

Saat datang ke kantor Ibu itu tidak sendiri, Ia ditemani salah satu anak laki-lakinya. Sambil menunggu tim program yang biasa menangani assessment dan penyaluran untuk penerima manfaat, kamipun saling mengobrol. Dari obrolan tersebut, saya mengetahui bahwa ibu Rohimah, sebut saja seperti itu, dan suaminya bekerja sebagai pekerja lepas serabutan. Kehidupan ekonomi sehari-hari keluarganya terbilang kurang dari cukup, yang mengejutkan lagi ternyata penerima manfaat talasemia yang dimaksud bukannya ibu Rohimah, melainkan diperuntukkan bagi ketiga anaknya yang mengidap talasemia mayor. Di Indonesia sendiri belum ada cara untuk menyembuhkan penderita Talasemia, sehingga mengharuskan penderita menjalani transfusi darah rutin dua minggu hingga satu bulan sekali seumur hidupnya. Terkejut dengan hal itu, sayapun bertanya agar memecah keheranan yang muncul dalam benak saya saat itu.


“Kok, bisa? Talasemia itu memang menular dari apa, Bu?”

“Menular dari gen, Teh. Jadi, saya sama bapaknya anak-anak ini setelah di cek dokter masuk dalam pembawa sifat talasemia. Kalo dari dulu kita tau informasi itu, saya sama suami saya lebih baik engga nikah, Teh. Kasian anak-anak yang jadi korban.” Mata ibu itupun mulai nanar dan intonasi suaranya seakan menahan tangis. Terlihat jelas raut wajah penyesalan untuk ketiga anaknya.


Penyakit talasemia ini merupakan kelainan darah bawaan yang ditandai oleh kurangnya protein pembawa oksigen (hemoglobin) dan jumlah sel darah merah dalam tubuh yang kurang dari normal. Untuk pengobatannya sendiri, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, pengidap talasemia harus melakukan transfusi darah seumur hidupnya. Angka penderita atau kelahiran bayi penderita talasemia pun semakin meningkat tiap tahunnya. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Yayasan Talasemia Indonesia, per bulan Juni 2021 data penyandang talasemia di Indonesia sebanyak 10.973 kasus. Angka tersebut terus mengalami kenaikan dari tahun 2012 yang berjumlah 4.896 kasus.  Ibu Rohimah pun cukup lengkap menjelaskan perbedaan penderita talasemia mayor dan minor, sebutan untuk pembawa sifat talasemia.


“Pembawa sifat itu gak bakal tau kalo dia gak check up dulu ke dokter. Teteh nanti kalo mau nikah harus check dulu dua-duanya, jangan kayak saya, anak-anak kasian gak bisa main bebas karena gampang cape, badannya juga kurus.” Pesannya, ibu itupun melanjutkan kembali ucapannya, “saya sama suami itu sama-sama pembawa sifat dan kita sehat-sehat aja, gak ada gejala gimana-gimana. Jadi kalo minor ketemu minor udah pasti anaknya jadi mayor, Teh.”


Pencegahan dini sebenarnya dapat dilakukan yaitu dengan cara menghindari pernikahan sesama pembawa sifat talasemia (minor), atau memilih untuk tidak memiliki anak, kecil kemungkinan memiliki anak yang normal. Walaupun begitu, alhamdulillah anak bungsu bu Rohimah yang ke empat bukanlah penderita talasemia seperti ketiga kakaknya.

Adapun maksud dan tujuan bu Rohimah adalah untuk menerima bantuan biaya transport ke Jakarta agar anak-anak tepat waktu melakukan transfusi darah yang memang sudah di jadwalkan dan tidak boleh terlambat sedikitpun. Sehingga keluarga bu Rohiman harus sudah stand by H-1 sebelum transfusi darah dilakukan. Bersyukur sekali pernah tergabung dalam program untuk membantu orang lain yang membutuhkan, Melihat senyuman penerima manfaat yang seperti menampakkan perasaan kelegaan, seperti aliran semangat yang tak henti karena sebelumnya bu Rohimah pernah cerita untuk meminta bantuan pada dinas sosial terdekat namun bukannya memperoleh bantuan, bu Rohimah justru mendapat perlakuan kurang mengenakkan.


“Makannya, Bu. Anak-anak itu jangan cuma di kasih makan ikan asin, kasih makanan yang sehat, bergizi.” Kurang lebih seperti itu bu Rohimah menceritakan sambil menelan kekesalan juga kepedihan, karena tidak ada orang tua yang tidak ingin memberikan anak-anaknya makanan enak dan bergizi. Hanya saja kondisi ekonomi tidak mendukung untuk menyediakan makanan-makanan sehat.


Ibu Rohimah dan keluarga merasa sangat terbantu dengan adanya Lembaga kemanusiaan. Saya pun turut bangga karena pernah ada dan menjadi bagian dalam project kemanusiaan, salah satunya saat menangani penerima manfaat talasemia yaitu anak-anaknya bu Rohimah. Bersyukur sekali karena masih ada Lembaga dan relawan-relawan kebaikan yang bersedia meluangkan waktunya untuk dapat menebar manfaat sebanyak mungkin. Menepis kesedihan, dan kegelisahan penerima manfaat yang membutuhkan bantuan.

 

 

 

Reactions

Posting Komentar

0 Komentar